Sarapan Pagi Penuh Dusta Puthut EA


Judul: Sarapan Pagi Penuh Dusta
Penulis : Puthut EA
Penerbit: Mojok

Tahun: 2017, cetakan ke-4
Jumlah Halaman: 140

Ini adalah karya cerpen pertama yang sangat saya nikmati. Sebelum membaca cerpen Puthut EA ini, saya pernah mencoba untuk membaca karya cerpennya Mbak Dewi Lestari, Recto Verso, dan saya menyadari bahwa kapasitas otak saya ternyata sangat limit. Heuheu.

Meski gaya bahasa dan ceritanya mudah dimengerti, cerpen om Puthut EA akan terasa seperti sebuah kotak pandora. Ia menyimpan banyak rahasia dan akan mengagetkan kita pada plot twist yang kadang membuat gemas,"Ini penulis kok kejam banget sih ngasih ending yang begini!" Tapi, nyatanya penulis begini yang saya sukaaaa.

Dalam beberapa cerpen, topik seperti perang dan kematian akan terasa sangat kental. Deskripsi suasana yang ditulis pun terasa sangat detail, secara tidak langsung ikut mempengaruhi saya untuk sedikit merasa jeri. Apalagi, saya merasa diharuskan untuk terus meraba alur cerita, sambil menyiapkan diri untuk menerima kisah akhir yang sering menjebak. Heuehu, saya tidak berani membaca buku ini sendiri.

Buku ini terdiri dari 15 cerita pendek, dan enam diantaranya pernah dimuat di beberapa media masa. Dari kelima belas cerita itu, saya paling menyukai yang berjudul Bayang-Bayang, Sisa Badai di Sepasang Mata, dan Sarapan Pagi Penuh Dusta.

Bayang-Bayang

Ini adalah kisah tentang perang. Sebuah daerah maju yang mengundang banyak rasa iri dan ketidaknyamanan daerah lain, sehingga yang terjadi kemudian ialah tindakan saling serang demi mempertahankan kedaulatan.

Saya suka sekali cara Puthut EA menuliskan suasana perang dalam kata-kata yang begitu gamblang namun tetap terasa romantis. Meski, tema sentralnya adalah peperangan, tokoh 'aku' justru terasa begitu sentimentil. Sebagai seorang panglima yang kalah tempur, ia terlihat begitu rapuh namun harus tetap terlihat tangguh di depan pasukannya.

Di akhir cerita, ia sedikit menyisipkan keluhan dirinya soal keengganan hatinya untuk ikut perang. Ia tuliskan juga mimpi-mimpinya tentang kehidupan sederhana bersama pasangan sembari merawat hewan ternak. Dan di dalam cerpen inilah ada plot twist yang cukup membuat gatal di akhir cerita.

Sisa Badai di Sepasang Mata

Ini adalah kisah seorang mahasiswa yang sedang melakukan penelitian di sebuah desa. Ia menemukan bahwa tetangga depan rumahnya adalah sosok yang misterius, tak pernah muncul dalam kehidupan masyarakat desa.

Dalam bahasa yang sangat detail, khas Puthut EA, tokoh utama merasa amat terganggu dengan mata yang sayu itu. Seolah meneror dirinya, bahkan sampai ke alam mimpi.

Tapi, pada suatu kesempatan si tokoh utama itu tak sengaja bertemu dengan si mata badai pada momen yang ia sendiri tak sadari. Itulah takdir yang akan membawa tokoh utama ke akhir cerita ini.

Sarapan Pagi Penuh Dusta

Ini adalah kisah sederhana yang begitu manis. Tentang rutinitas kebohongan di meja makan antara seorang anak perempuan dan ibunya. Hanya itu. Tapi lagi-lagi semua detail membuat saya sebagai pembaca bisa langsung membayangkan semua rutinitas manis mereka ketika sang anak sedang pulang mengunjungi ibunya di rumah.

Kegiatan rutin sebagai keluarga, seperti belanja bersama, kemudian berjalan pagi sembari memilih jajanan pasar untuk dibawa ke rumah bisa membuat saya merindukan untuk jadi sosok sebagai anak. Heuheu, sebagai emak-emak, saya pun kangen dengan masa ketika saya masih punya tali untuk bergantung, bukannya jadi tempat bergantung. #meloww

Yak, sekian review cerpen kali ini. Cukup susah juga membuat resensi cerita pendek. Ketika saya mau cerita yang agak panjang sedikit, itu artinya saya sudah menceritakan separuh perjalanan plot. Spoiler banget kan?

Jadinya saya berusaha banget hanya memberikan petunjuk kecil plus menceritakan bumbu micin yang saya suka dari cerpen tersebut. Btw, buku cerpen ini saya dapat dari kiriman Mojok.co gegara pertanyaan saya diterima di rubrik Curhat-nya. Pertanyaan sampah sebenarnya sih, karena memang sangat tak berfaedah, heuheu.

Bagaimanapun, terima kasih tim Mojok, buku ini luar biasa.